Ayam Mungil Si Calon Menantu Anda

ITIK KECIL CALON MENANTUKU

Seorang anak merupakan suatu kebahagiaan bagi orangtuanya, terlepas dari berbagai sifat mereka, hal ini juga berlaku padaku, mengapa tidak? Aku telah mendidik seorang putra dengan penuh perhatian serta mencurahkan semua rasa cintaku. Sekarang dia telah tumbuh menjadi dewasa dan waktunya memilih pasangan hidup.

Sebagai orang tua tunggal, saya sendirian menaikkan anak serta membimbingnya menuju kesuksesan, pastinya ini memberikan rasa bangga tersendiri bagi saya. Saya selalu berusaha memberikan hal terbaik untuk putra sulung saya, termasuk dalam mencari pasangan hidup.

“Begitu…, aku mau memperkenalkan seseorang pada Bunda,” kata Mahesa saat itu.

Saya diam saja, memberikan pandangan penuh tanya ketika Mahesa berbicara tentang harapannya, sambil mencoba membayangkan bagaimana penampilan wanita yang sudah membuat anak laki-lakiku jatuh cinta.

“dia hanyalah perempuan biasa. bukan putri dari seorang pebisnis atau keluarga bergengsi,” mahesa menjelaskan singkat tentang wanita tersebut, seolah-merasakan pikiranku.

“Anak… beternak, membibit, dan berinvestasi, hal-hal tersebut sungguh penting dalam memilih pasangan hidup,” kata saya.

Sosial secara, Naila memang tidaklah beruntung, Bu… namun dari sudut pandang seorang wanita, dia sangat istimewa menurut pendapat saya. Ia telah mencapai banyak pencapaian baik ketika masih di sekolah maupun di pekerjaannya saat ini dan juga dalam menghadapi kehidupan,” jelas Mahesa. Aku pun belum menjawab apa-apa terkait usulannya tersebut.

Saya menyadari ada ketidaknyamanan pada Mahesa, terlihat dari ekspresi matanya serta postur badannya yang lebih gelisah daripada biasanya.

“Kau bawa dia dulu ke depan Ibunya, walaupun Ibunya tidak dapat memberikan janji apapun tentang hubungan kalian,” kataku sambil bangkit dan bergerak menuju jendela. Ini dilakukan untuk menenangkan penglihatanku.

Mahesa bangkit dari tempat duduknya dan mendekapiku. “Terima kasih, Bu… Semoga saja minggu depan, saya bisa membawa Naila ke sini.”

Percakapanku dengan Mahesa beberapa hari yang lalu berhasil membuatku cemas. Aku masih memiliki beberpa hari tersisa untuk mengetahui tentang wanita yang dekat dengannya ini.

Tanpa diketahuinya, Mahesa. Saya mulai mengumpulkan informasi melalui teman-temannya yang sering berkunjung ke rumahnya dan mendapat detail bahwa gadis tersebut hanyalah seorang gadis biasa tanpa keunikan tertentu.

*****

Melalui jendela kamarnya, dia bisa melihat dengan jelas kedatangan Mahesa beserta pacar perempuan nya. Dia menyaksikan bagaimana Mahesa menangani nya dengan penuh kelembutan, mulai dari membuka pintu mobil untuknya sampai merengkuh jarinya. Keduanya berjalan bersama menuju pintu masuk rumah.

Saya masih menantikan panggilan dari Mahesa untuk datang ke kamarnya, benar-benar malas untuk bertemu dengannya.

Belum lama kemudian terdengar dentingan ketukan pada pintu kamarku. “Bu… Adakah Ibu di sini?” tanya Mahesa dari arah pintu, tanpa menjawab apa pun, saya langsung beranjak untuk membuka pintu tersebut.

“Bun… Naila telah menunggu di ruang tamu,” kata Mahesa, saya pun menganggukkan kepala dan melangkah ke arah ruang tamu, disusul oleh Mahesa.

Sampai di ruang tamu, dia segera bangkit dan menyapaku dengan sopan melalui ciuman lembut pada punggung tangan ku.

“Mengenalkan, Bu… ini Naila Anandita,” kata Mahesa sambil memperkenalkannya, lalu saya menyambutnya dengan senyuman dan bertanya sedikit tentang dirinya.

Walaupun Mahesa menceritakan beberapa pencapaian Naila dalam menghadapi dan merespons kehidupan, hal tersebut tidak mengurangi perasaan kekecewaanku.

Bagiku, wanita ini tidak cocok untuk laki-laki sesempurna Mahesa.

“Itulah, Naila, Bu, mengapa? Mengecewakan?” tanya Mahesa sedikit kesal, ketika kami ada kesempatan bicara berdua.

“Apakah hubungan Anda dengan dia telah sangat serius? Apakah sudah yakin ingin menjadikannya istrimu?” tanyaku gelisah.

Mahesa memanduku dengan serius. “Bu, sebenarnya belum mengenalnya sepenuhnya. Tapi saya yakin kalau Naila adalah pilihan terbaik; dia sangat tahu tentang diriku, kukasihi dia, dan bersyukur telah jatuh cinta padanya.”

Saya diam saja, memandang kembali Mahesa dengan rasa bingung, lalu kata-kata tersebut meluncur dari bibirnya. “Apakah kamu merasa bangga karena mencintaiku?”

Sekarang giliranku Mahesa yang menganga lebar. “Itik kecil? Ibu…” Mahesa tak melanjutkan ucapannya lagi; ia hanya menatapku dengan matanya yang melebar sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat itu.

Ya Tuhan… Mahesa, apakah yang kau lakukan? Ibu tak meminta harta berlebihan, ibu cuma menginginkan kegembiraanmu dalam mencari pasangan hidup yang sesuai dan benar bagimu…. Apakah itu salah?

Saya beranjak menuju dapur untuk menyeduh minuman, setelah Mahesa dan sahabatnya yang perempuan tiba, saya pun terus disibukkan dengan diskusi mereka.

Saya tidak menyangka angsa mungil itu begitu berani menghadapiku, dan pada titik ini hanya tersisa saya dan si angsa kecil itu di dalam dapur; sekaranglah waktunya untuk membuangnya dari hidup Mahesa.

“Sebenarnya kamu sudah berapa lama sih, kenal sama Mahesa?” tanyaku membuka percakapan.

“Hanya baru setahun saja, dek,” balas Naila sambil tersenyum santai.

Saya menganggukkan kepala. “Satu tahun saja? Wow! Waktu itu terlalu singkat untuk benar-benar saling kenal, apalagi memutuskan untuk menjadi pasangan suami isteri. Ada begitu banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mencari pendamping hidup… ya, misalkan, karakter, keturunan, dan kesehatan—jadi pastikan tidak sampai membuat kesalahan, bukan?” ucap saya tegas, sembari pura-pura fokus pada penyortiran piring.

“Betul sekali, Bu… menurut pendapat orang lain, jangan beli kucing di dalam saco,” balas Naila dengan nada ringan.

Saya kaget mendengar nada suara tersebut. Terdengar begitu enteh bagai seseorang yang tengah berurusan dengan sang ibu mertua potensial.

Apakah kamu siap untuk menikah dengan Mahesa?

“Mungkin lebih baik jika kamu mengatakan ‘Aku mencintaimu, Mahesa,’.” Hmm… sepertinya itu masih belum tepat sebagai respons.

“tentu saja, siapakah yang tak menyukai sosok seperti Mahesa? Dia baik hati, cerdas, tampan, dan sudah berkarir mapan pula,” kataku dengan nada agak geram.

Iya… Tentu saja, Bunda berharap calon istrinya nanti setakjub Mahesa pada dirinya, bukan?

Saya nyaris jatuh. Hebat! Dia mempermudah saya untuk langsung menuju pokok persoalan yang dibahas.

“Tentu saja, Naila… susah payah Ibu membesarkannya sampai menjadi orang yang berhasil dan Ibu tidak ingin semua yang Ibu lakukan menjadi sia-sia.”

“Sia-sia?” tanyanya heran.

Apa artinya jika Mahesa tidak menemukan pasangan yang tepat dan tidak bisa membuatnya bahagia?

Naila menganggukkan kepala. “Ya, Ibu, tentu saja.”

Mari kita bahas, apakah kau layak menjadi istrinya Mahesa?” kataku dengan senyum yang bangga.

Naila tentu akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperoleh kembali Mahesa, dan aku merasakan belas kasihan terhadapnya.

Namun…. Apa yang kulihat? Jawabannya membuatku tercengang.

“Menurutku, aku tidak cocok untuk Mahesa,” balas Naila dengan nada lembut seperti kapas.

“Oh begitu? Kenapa?” tanyaku sambil tidak bisa menyembunyikan kekagumannya, sekilas aku menepuk dadaku.

Naila terkikik pelan. “Seperti yang ibu katakan, Mahesa benar-benar luar biasa, sementara aku? Aku merasa diriku tidak berarti dan tak berguna, jadi sungguh disayangkan jika Mahesa mendapatkan istri sepertiku.”

Saya menghentikan aktivitas saya, memperhatikan gadis di depanku dengan cermat, harapan untuk melihat ekspresi seseorang yang telah kalah dalam pertempuran.

Ternyatalah begitu, si gadis biasa ini masih terlihat tenang dengan senyum konstan yang selalu ada di wajahnya.

Hei… mengapa kamu kemari jika bukan karena ingin menjadi istri Mahesa?

Naila terlihat senyum, tanganku perlahan dipegangnya. “Saya merasa beruntung bisa bertemu dengan seseorang yang luar biasa seperti Bunda. Mahesa sering bercerita tentang Anda dan bagaimana ia kagum kepada Bunda. Jadi saya pikir akan menyenangkan untuk dapat menimba ilmu lebih banyak lagi dari Bunda serta mencoba menjadi wanita sepertinya. Namun tentunya hal ini hanya mungkin dilakukan kalau Bunda setuju.”

Saya terkejut, lalu saya memperhatikan wajah angsa mungil di depanku dengan saksama.

“Nggak berarti aku harus jadi istri Mahesa, lho. Aku emang sayang sama dia, tapi malahan karena cinta ini, aku nggak mau bikin Masih Susah cuma gara-gara diriku. Apalagi setelah melihat betapa hebatnya ibunya, yang pasti aku tak ingin membuat beliau kecewa atau menyesali pilihannya menjadikanku anak mertuanya,” kata Naila dengan tenang.

“Seperti ibu, saya juga ingin hal terbaik bagi Mahesa. Saya berharap agar ia dan keluarganya dapat bersuka cita. Saya siap menikah dengannya apabila keluarga setuju dan menyambutku sebagai bagian dari keluarga mereka,” tuturnya dengan nada lembut.

Naila tetap tenang sambil mempertahankan senyumannya; dia terlihat sama sekali tak tertarik pada Mahesa.

Entah sadar atau tidak, tiba-tiba apa yang berada di depanku kini bukanlah seekor itek kecil, melainkan seekor angsa putih.

“Bu, bagaimana kabarnya?” tanya Naila karena saya terdiam terlalu lama. Saya memperhatikan sekali lagi wajah tersebut; wajah yang lumayan biasa tapi seiring waktu malah menjadi semakin mengundang.

Saya merasakan bahwa gadis ini memiliki banyak keunikan, bisa jadi saya akan menemukan pesona baru apabila saya mengenali dia lebih dalam lagi.

Sungguh menakjubkan ketika tiba-tiba saya mulai merasakan suka padanya, terdapat sebuah sensasi lembut yang membuat kami semakin dekat.

Saya mengulum senyum, memeluknya dengan kuat tanpa peduli pada pandangan aneh Naila atas perubahan sikap saya yang mendadak tersebut.

“Ibu, baik-baik saja, Naila.”

Oh ya…. Kamu belajar memasak dari mana nih?

“Mahesa senang makan loh.”

Saya berbicara tanpa henti, tak disangka-sangka, saya bisa mengobrol banyak dengan dia…. Ya …. Udara di dalam dapur jadi lebih hangat.