Bulan Ramadan selalu membawa suasana berbeda di rumah kami. Sebagai seorang ibu Katolik dengan tiga anak, saya tumbuh dalam keluarga yang beragam. Kakek dan nenek dari ibu saya adalah Muslim, sedangkan orang tua saya Katolik. Perbedaan ini tidak pernah menjadi penghalang bagi kami untuk saling menghormati dan merayakan kebersamaan. Justru, Ramadan menjadi momen yang istimewa, penuh kehangatan, dan kesempatan bagi saya untuk mengajarkan anak-anak tentang arti berbagi, toleransi, dan cinta tanpa batas.
Menyiapkan Takjil untuk Tetangga
Salah satu tradisi yang paling saya nikmati selama Ramadan adalah menyiapkan takjil untuk para tetangga Muslim kami. Setiap sore, saya dan anak-anak akan sibuk di dapur. Mereka masih kecil, tapi mereka sudah sangat antusias membantu.
“Kak, kamu yang potong buahnya ya, biar nanti kita bisa buat es buah segar,” kata saya kepada anak sulung saya, yang dengan senang hati mulai mengiris mangga dan melon.
Sementara itu, bapaknya sibuk menuang santan ke dalam panci untuk membuat kolak pisang. Walaupun seringkali sambil icip-icip ambil di gelas daripada yang masuk ke panci, tapi melihat mereka berusaha ikut serta membuat saya tersenyum.
Saya ingin mereka mengerti bahwa berbagi bukan hanya tentang memberi makanan, tetapi juga tentang memberikan waktu, tenaga, dan perhatian kepada orang lain. Ketika semua sudah siap, mereka yang paling bersemangat mengantarkan takjil ke rumah tetangga, dengan langkah kecil dan wajah ceria.
“Bu, kenapa kita kasih makanan ke tetangga?” tanya anak saya.
Saya tersenyum dan menjawab, “Karena berbagi itu membahagiakan, Nak. Kita tidak perlu punya agama yang sama untuk bisa saling peduli.”
Mengajarkan Toleransi Lewat Sahur dan Berbuka
Meskipun kami tidak berpuasa, anak-anak sering kali bangun lebih awal dan ikut menemani saudara sepupu mereka yang sedang sahur. Saya biarkan mereka merasakan atmosfer sahur, mendengarkan cerita dari nenek tentang kebiasaan Ramadan di masa kecilnya.
Saat waktu berbuka tiba, kami juga sering kali duduk bersama keluarga Muslim kami. Ada kehangatan dalam kebersamaan itu. Saya mengajarkan anak-anak untuk menunggu dan menghormati momen berbuka, tidak langsung makan di depan mereka yang sedang berpuasa.
“Kita bisa belajar banyak dari teman-teman yang puasa, ya,” kata saya suatu hari. “Mereka belajar menahan diri, sabar, dan lebih banyak bersyukur.”
Anak saya mengangguk, seakan mulai memahami makna puasa di luar sekadar menahan lapar dan haus.
Menyisihkan Rezeki untuk yang Membutuhkan
Ramadan juga menjadi momen yang pas untuk mengajarkan anak-anak tentang bersedekah. Kami memiliki kebiasaan sederhana: setiap anak punya celengan kecil, dan mereka diajarkan untuk menyisihkan sebagian uang jajan mereka.
“Nanti uangnya buat apa, Bu?” tanya si sulung.
“Kita akan belikan sesuatu untuk orang yang membutuhkan,” jawab saya. “Mungkin paket sembako untuk tukang sampah, atau makanan untuk orang-orang di panti asuhan.”
Mata mereka berbinar. Mereka merasa terlibat dalam sesuatu yang besar, sesuatu yang membuat mereka bisa ikut membantu orang lain.
Hari itu, kami pergi ke pasar, membeli beras, minyak, dan kebutuhan pokok lainnya. Anak-anak dengan semangat membantu mengemasnya. Saat kami menyerahkan paket itu kepada seorang ibu yang bekerja sebagai pemulung, anak-anak saya melihat senyum bahagia yang terpancar dari wajahnya.
“Makasih ya, Nak,” kata ibu itu.
Saya melihat anak saya tersenyum bangga. Ia mulai memahami bahwa sekecil apa pun yang kita berikan, jika dilakukan dengan tulus, akan selalu berarti bagi orang lain.
Ramadan: Tentang Kasih yang Tak Terbatas
Sebagai seorang Katolik yang hidup dalam keluarga yang beragam, saya selalu percaya bahwa kasih itu tidak mengenal batas agama. Ramadan bukan hanya bulan suci bagi saudara-saudara Muslim saya, tetapi juga momen bagi saya dan anak-anak untuk belajar tentang kesabaran, berbagi, dan cinta kepada sesama.
Saya ingin mereka tumbuh dengan hati yang terbuka, yang tidak melihat perbedaan sebagai jarak, tetapi sebagai kekayaan yang harus dihargai.
Ketika Ramadan berlalu dan Idulfitri tiba, saya selalu mengajak mereka untuk ikut bersilaturahmi, berkunjung ke rumah keluarga Muslim kami, ikut merasakan kebahagiaan mereka.
“Bu, nanti kalau Natal, mereka juga boleh datang ke rumah kita, kan?” tanya anak tengah saya.
Saya tersenyum, merangkul mereka erat.
“Tentu saja, Nak. Karena kasih itu tidak memandang siapa kita, tapi bagaimana kita memperlakukan satu sama lain.”
Dan dengan itu, saya tahu bahwa Ramadan, bagi keluarga kami yang lintas iman, bukan hanya soal puasa dan takjil. Ia adalah tentang berbagi berkah, tentang belajar memahami, dan tentang cinta yang selalu ada tanpa syarat.
