jatim.
, SURABAYA – Gigih Prihantono, seorang pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair), mengomentari bahwa langkah Pemerintah Provinsi Jawa Timur dalam menghapus denda pajak merupakan pendekatan yang lebih baik jika dibandingkan dengan keputusan Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk menghilangkan tunggakan pajak kendaraan bermotor.
“Keputusan kedua itu memberikan pengaruh yang tidak sama pada Pendapatan Asli Daerah (PAD),” ungkap Gigih saat berada di Surabaya, Khamis (27/3).
Menurunya, menghapus utang pajak bisa memiliki dampak merugikan bagi pendanaan lokal, sedangkan mencabut denda malah akan lebih berhasil dalam mendorong ketaatan para pembayar pajak.
” PAD Pemerintah Provinsi Jawa Barat dari pajak kendaraan bermotor setiap tahun kira-kira mencapaiRp10 triliun. Akan tetapi, berdasarkan kebijakan ini, jumlah yang berhasil dikumpulkan hanya sebesar Rp70 miliar atau belum sampai 1%. Meskipun hal tersebut menaikkan tingkat popularitas, namun secara aspek finansial untuk pihak daerah masih kurang memberikan manfaat,” ungkapnya.
Gigih menyatakan bahwa pengecilan utang pajak secara bertahap bisa membahayakan pendapatan lokal, yang pada gilirannya mungkin akan memengaruhi mutu layanan umum.
Sebaliknya, keputusan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menghapus sanksi pada pembayaran pajak dianggap lebih sesuai dengan konsep perpajakan yang adil serta lestari.
“Pajak merupakan suatu tanggung jawab kepada masyarakat dalam bentuk layanan umum, misalnya subsidi untuk Bus Trans Jatim. Bila utang pajak ditiadakan selama beberapa tahun sebagaimana terjadi di Jabar, saya cemas akan ada gangguan pada penyediaan layanan publik, termasuk dukungan bagi penduduk berpenghasilan rendah yang tak ditangani pemerintah pusat,” ungkapnya.
Gigih juga mengkritisi efektivitas dari kebijakan penanggulangan pajak dalam bentuknya yang menyeluruh. Menurut dia, pelaksanaan amnesti pajak di skala nasional telah membuktikan bahwa pencopotan biaya pajak bukannya langsung mendorong ketaatan para pembayar pajak.
“Bila maksudnya adalah memperkuat ketaatan perpajakan, mencabut sepenuhnya utang pajak yang telah lama tertunggak bisa dianggap sebagai langkah yang salah. Menurut catatan sejarah, kebijakan semacam itu, misalnya amnesti pajak, belum membuktikan dirinya efektif dalam meningkatakan rasio pendapatan dari pajak,” jelasnya.
Gigih juga menekankan tentang kemungkinan terjadinya iri dengki di masyarakat sebagai dampak dari aturan yang mencabut utang pajak.
“Orang yang konsisten dalam pelunasan pajak akan merasa dirugikan. Hal ini dapat berbalik arah sebab publik malah bisa menilai bahwa pembayaran pajak bukan prioritas apabila terdapat potensi pembebasan di waktu datang,” katanya.
Sebagai pembanding, ia menganggap bahwa keputusan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mencabut denda pajak ternyata lebih berhasil dalam mendorong pertambahan pendapatan lokal.
“Tiap kali Pemerintah Provinsi Jawa Timur meniadakan sanksi denda pajak, pendapatan daerah dapat meningkat sampai dengan ratusan miliar hingga triliun rupiah. Pendekatan ini dianggap lebih praktis daripada langsung meniadakan seluruh tunggakan pajak,” jelasnya.
Gigih juga menekankan bahwa keputusan dalam urusan umum harus lebih fokus pada konsekuensi jangka panjang bagi anggaran lokal dan kualitas layanan kepada warga, bukannya sekadar mencari penghargaan dari publik.
“Bila aturan ini dilaksanakan tanpa pertimbangan yang cermat, khawatirnya mutu dari pelayanan publik bisa berkurang. Harapannya, keputusan yang dibuat tidak seharusnya membawa kerugian bagi banyak orang,” tegasnya.
(mcr12/jpnn)
