Terdapat bekas kehadiran Ottoman di Indonesia. Ini dapat kita telusuri di Kesultanan Aceh, khususnya saat Kerajaan ini mengawali perlawatan melawan Portugis sebelum akhirnya bertarung dengan Belanda.
—
bergabung di WhatsApp Channel, ikuti dan temukan informasi terkini kami disini
—
Online.com –
Ternyata jejak kekaisaran Ottoman mencapai pulaunya Indonesia. Meskipun tidak berupa struktur fisik, kita masih dapat menemukan buktinya melalui dokumen-dokumentasi historis.
Mendiskusikan jejak kehadiran Ottoman di Indonesia artinya membicarakan tentang Kesultanan Aceh, khususnya saat mereka bertempur melawan pasukan Portugis. Walaupun tidak turut campur secara langsung, dampak dari pengaruh Ottoman ternyata sangat penting.
Ternyata, hubungan antara jejak Kesultanan Ottoman di Indonesia sangat terkait dengan perseteruan mereka melawan Kekaisaran Portugis yang telah membangun berbagai tempat perdagangan di wilayah Asia Tenggara. Sepertinya, Portugis yang bertujuan untuk mengendalikan perniagaan bumbu-bumbu bernilai tinggi ini memberi ancaman pada kepentingan Ottoman dalam Laut Hindia.
Kerajaan Aceh, yang turut menghadapi serangan dari Portugal, melihat Kesultanan Utsmaniyah sebagai mitra potensial. Selain itu, Kekaisaran Utsmaniyah adalah sumber penting pendidikan Islam.
Kemudian Kesultanan Aceh mengandalkan arahan serta dukungan spiritual dari kekaisaran Ottoman. Keyakinan bersama ini membentuk fondasi untuk aliansi tersebut, sebab kedua pihak melihat dirinya sebagai elemen penting dalam ummah Islam secara keseluruhan.
Kemitraan di antara Kesultanan Ottoman dengan Kerajaan Aceh semakin kuat berkat serangkaian aktivitas diplomasi dan perdagangan. Duta besar dari pihak Ottoman bepergian menuju Aceh sambil membawa serta hibahan dan pesan-pesan persetujuan. Untuk membalas kebaikan tersebut, Aceh juga mengutus wakil-waktinya kepada kesultanatan Ottoman guna mendapatkan pertolongan militer dan merintis keterlibatan dalam urusan bisnis.
Sejarah pendek dari Kekaisaran Ottoman atau juga dikenal sebagai Kesultanan Utsmaniyah
Ottoman adalah kekaisaran Muslim terluas yang tidak berasal dari wilayah Arab. Kekesalan ini dibentuk oleh beberapa suku Turkik di bawah kepemimpinan Osman Bey atau Osman I dan pusat pemerintahan mereka ada di Konstantinopel, kini lebih dikenali dengan nama Istanbul.
Otomان، semasa kemasyhuran nya,pernah mengontrol kawasan yang luas di Asia Barat Daya, Timur Tengah, Balkan, serta sebahagian daripada Afrika Utara sehingga merangkumi hampir enam kurun waktu (1299-1924 M) . Asal-usul Kesultanan ini boleh dilacakkan kepada kelompok etnik Turki dari Kazakhstan Selatan pada awal abad ke-13, mereka adalah peladang-peladang nomaden berasal dari daerah antara Iraq moden dengan Anatolia.
Perjalanan tersebut dipimpin oleh Raja Erthugrul bersama puteranya, Usman I, yang berpindah tempat guna mengelakkan serangan dari pasukan Mongol di bawah kepemimpinan Jenghis Khan. Setelah pergi jauh, raja Erthugrul beserta pengiringnya pun memilih untuk tinggal di kota Athlah, lokasinya ada di bagian timur Turki, lalu mereka menyatu dengan Kerajaan Saljuq.
Kemudian mereka mendukung Dinasti Saljuq dalam menghadapi Romawi sampai akhirnya meraih kemenangan. Sebagai balasan atas dukungan itu, Raja Erthugrul dikaruniai sebuah lahan di bagian barat Anatolia yang bertetanggaan langsung dengan wilayah Romawi.
Dia pun memiliki kewenangan untuk memperluas kekuasaannya hingga mendekati batasan Romawi. Sesudah Kekhanahan Saljuk jatuh, Usman I mengumumkan pendirian Kesultanan Usmani yang baru di Turki.
Zaman keemasan Kesultanan Utsmaniyet berawal ketika Sultan Selim I menjadi penguasa di abad ke-16. Fokusnya adalah ekspansi wilayah ke arah selatan Turki serta ia sukses merebut kontrol atas Baghdad, Kairo, dan sebagian besar dari apa yang tersisa dari kekuasaan Bizantium.
Sampai abad ke-17, Kesultanan Utsmaniyah merupakan salah satu kerajaan Islam yang signifikan di wilayah Timur Tengah dan Semenanjung Balkan. Pada tahun 1520 setelah kematian Selim I dan dilanjutkan oleh Sultan Suleiman I, Kerajaan tersebut sukses merebut kendali dari Lembah Sungai Nil sampai ke Gibraltar.
Saat itu hanya Maroko wilayah yang tak berhasil ditaklukkan. Kekhanatan Utsmaniyah dalam memimpin negara begitu menghormati keagamaan, seperti terlihat pada pembuatan hukum oleh Suleiman I untuk warga dari latar belakang berbeda-beda.
Maka, Suleiman I mendapat julukan Al Kanuni yang berarti pakar dalam pembuatan hukum. Di samping itu, pada zaman keemasan Kerajaan Utsmaniyah, mereka menekankan sikap toleransi terhadap keragaman agama.
Pada masa Sultan Suleiman I, agama Islam mengalami perkembangan yang cepat. Serupa dengannya, budaya, perdagangan, serta ilmu pengetahuan pun ikut maju.
Kekaisaran Ottoman secara formal berhenti eksistensinya pada tahun 1922 setelah jabatan Sultan Ottoman dicopot. Beberapa faktor utama yang menyebabkan jatuhnya Kekaisaran Ottoman termasuk kurangnya kepemimpinan yang adil oleh para sultan selama periode Krisis Perang Dunia I serta penyalahgunaan dalam pengelolaan finansial negeri.
Di samping itu, kehidupan bergaya para pejabat tinggi Istana juga berkontribusi pada jatuhnya Kekaisaran Utsmaniyah. Sesudah Perjanjian Mudros (1918), hampir seluruh daerah Kekaisaran Utsmaniyah didistribusikan di antara Inggris, Prancis, Yunani, dan Rusia.
Turki diresmikan menjadi sebuah republik pada tanggal 29 Oktober 1923 saat Mustafa Kemal Ataturk (1881-1938), seorang perwira angkatan darat, mendirikan Republik Turki yang berdaulat. Selanjutnya, pada 3 Maret 1924, kekhilafahan Utsmaniyah atau Kesultanan Ottoman dicabut secara formal oleh Mustafa Kemal Ataturk.
Jejak Ottoman di Indonesia
Kekaisaran Ottoman, meskipun tidak terlibat langsung dalam bentuk intervensi militer di Indonesia, tetap mengirimkan senjata, mesiu, serta peralatan pendukung ke Aceh. Juga, perdagangan antar kedua negara memiliki nilai yang signifikan.
Posisi Aceh yang strategis menjadikan daerah tersebut sebagai titik utama dalam jaringan perdagangan rempah-rempah, sehingga Kekaisaran Ottoman mencoba untuk mendapatkan akses ke barang-barang bernilai tinggi ini. Pedagang-pedagang dari Utsmaniyah merintis jalur dagang melewati Samudera Hindia, yang mengaitkan Aceh dengan pasar-pasar di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Koalisi antara Kekaisaran Utsmaniyah dan Kesultanan Aceh adalah prestasi yang mencolok, membuktikan kapabilitas Utsmaniyah dalam merentangkan pengaruh hingga jarak yang amat panjang. Kerjasama ini pun mementaskan betapa besarnya semangat persaudaraan Muslim di tengah-tengah berbagai kerajaan yang saling berebut kendali atas wilayah.
Walaupun aliansi itu secara ujungnya runtuh, ia tetap memberikan pengaruh panjang terhadap sejarah kedua daerah tersebut, menggarisbawahi hubungan global di masa abad ke-16.
Dalam artikel berjudul “Hubungan Kesultanan Utsmaniyah dengan Nusantara (Kepulauan Bumbu)” yang dipublikasikan dalam jurnal akademik Tabuah, disebutkan bahwa sebuah surat kabar dari Turki yang terbit ketika pecah perang antara Aceh dan Belanda tahun 1875, menceritakan tentang hubungan Sultan Aceh Firman Syah pada tahun 1516. Dalam hal ini, dia sempat mengirim pesan kepada Siman Pasya, seorang penasehat atau wazir bagi Sultan Salim I, guna mempererat ikatan persahabatan.
Sejak saat itu, hubungan antara Aceh dan Kesultanan Utsmaniyah berkembang dengan harmonis. Sebagaimana dicatat oleh para penulis, selain berinteraksi dengan Turki, Aceh juga mengadakan kolaborasi dalam ranah dagang dan militer dengan Kerajaan-kerajaan Muslim di India, negeri-negeri Arab, serta sejumlah keraton yang ada di Jawa.
“Snouck Hurgronje, konsultan Urusan Negeri bagi pemerintahan kolonial Belandanya menyimak sejumlah cerita yang berkembang di kalangan publik tentang klaim bahwa penduduk Acheh merupakan hasil persilangan antara keturunan Arab, Parsi, dan Turk,” jelasnya.
Menurut Denys Lombard, seorang orientalis Prancis, asumsi tersebut sepertinya belum berkembang cukup lama saat itu. Gagasan seperti itu kemungkinan besar timbul karena dorongan untuk tetap memerangi penjajahan dari Eropa yang beragama Kristen.
Keraton Aceh merupakan salah satu kesultan Muslim di Nusantara dan memainkan peran penting dalam pemberontakan melawan penjajahan Portugis. Pada bulan Mei tahun 1521, Sultan Ali Mughayat Syah berhasil mengalahkan flotila Portugis yang dikomandani oleh Jorge de Brito di lautan.
Anak laki-lakinya yang pertama, yaitu Salahuddin, yang kemudian meneruskan pemerintahan, juga melakukan serangan ke Melaka pada tahun 1537 tetapi gagal. Anak terakhir Mughayat Shah dengan nama ‘Alauddin al-Kahhar Ri’ayat Shah mengambil alih dari kakaknya di tahun 1539 dan memperkokoh Kekesultan Aceh.
Raja Alauddin mengendalikan tentara yang berisi prajurit Turki, Kamboja, serta Malabar. Dia melakukan serangan ke Melaka dua kali dalam kurun waktu tersebut (1547-1568). Tahun 1562, duta besar dari Aceh mendesak raja Turki agar diberi artileri guna membantu perlawanan terhadap Belanda.
Diketahui pula bahwa sejumlah kerajaan Hindu-Buddha di kawasan Asia Tenggara rela mengadopsi agama Islam apabila Kesultanan Utsmaniyah bersedia menyokong mereka. Pihak Turki pun sudah menyiapkan persenjataan serta para pakar sebagai bentuk dukungan. Selain itu, beberapa kapal juga telah ditugaskan untuk mengirim perwakilan dari Aceh ke tempat tujuan.
Walau harus menanti sebentar, meriam pada akhirnya sampai di Aceh. Di antara beberapa kapal yang dikirim, cuma ada dua yang langsung melanjutkan perjalanan ke Aceh karena sisanya dipaksa beralih arah guna mengatasi pemberontakan yang sedang terjadi di Yaman.
Bantuan dari Turki sampai di Aceh meliputi senjata serta 300 pakar profesional dari sektor teknik, militer, ekonomi, dan hukum konstitusi. Antara barang-barang yang diserahkan termasuk meriam raksasa bernama Meriam Lada Secupak.
Inilah cara Ottoman meninggalkan bekasnya di Indonesia, khususnya di Kesultanan Aceh, saat mereka bertarung melawan Portugis dan Belanda.
