SUMBAWA,
– Reaksi dari anggota parlemen di Senayan mengenai berbagai protes yang timbul akibat UU Tentara Nasional Indonesia (TNI) melalui unjuk rasa oleh mahasiswa serta lembaga kemasyarakatan sipil, termasuk wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB).
Anggota Komisi I DPR RI, Rachmat Hidayat, mengambil langkah untuk berbicara.
Politisi dari Partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan yang mewakili Daerah Pemilihan Nusa Tenggara Barat tersebut menegaskan bahwa penyahkan perubahan Undang-Undang Tentang Angkatan Bersenjata di sidang paripurna tanggal 20 Maret 2025 sebelumnya, secara keseluruhan tidak merujuk kembali ke fungsi ganda militer.
Menurut Rachmat, perubahan itu malah meningkatkan kedaulatan sipil dan membuat TNI menjadi lebih baik.
Sebagai saksi mata langsung dampak dwifungsi ABRI selama era Orde Baru, sang politikus berpengalaman dari PDI Perjuangan itu menyatakan tegas bahwa dirinya bakal jadi salah satu penolak terdepan jika ada upaya merevisi UU Tentara Nasional Indonesia (TNI), apabila memang hal itu digunakan sebagai sarana kembali ke sistem dwifungsinya.
“Saya sangat memahami perasaan hidup dalam sistem dwifungsi ABRI. Saya sebagai salah satu korban dari dwifungsi tersebut secara langsung, siap menjadi orang pertama untuk melawan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia jika hal ini mengakibatkan kemunculan kembali militernya ke wilayah sipil,” ujar Rachmat ketika dimintai konfirmasinya pada hari Selasa tanggal 25 Maret 2025.
Dia mengatakan tegas bahwa sebagai anggota Panja Revisi UU TNI, ia tidak pernah sekali pun mangkir atau melewatkan proses diskusi terkait revisi Undang-Undang No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Diskusi yang dipimpin oleh Panja berlangsung dengan sangat kritis, teliti, serta cermat.
Bahkan, dia sampai mengecek pemakaian tanda baca seperti titik dan koma dalam setiap frasanya.
“Tak cuma Fraksi PDI Perjuangan, semua fraksi juga berkomitmen untuk menghalangi kemungkinan bangkitnya dwifungsi ABRI,” kata Rachmat.
Maka, perwakilan masyarakat dari wilayah Bumi Gora ini menggarisbawahi bahwa tak ada alasan bagi publik untuk khawatir setelah penyetujuan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia tersebut.
“Riwayat buruk dwifungsi ABRI tidak akan kembali lagi. Peninjuan ulang Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia harus betulan dilakukan sesuai dengan koridor serta jiwa reformasi,” katanya.
Rachmat menceritakan bahwa pada masa lalu, saat dwifungsi ABRI diimplementasikan oleh Orde Baru, gaya pemerintahan sangat berorientasi militer.
Militer menyatu dengan berbagai aspek kehidupan negara.
Pada waktu tersebut, dalam institusi perlegislasian, baik dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sampai dengan Dewan Perwakilan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, tentara mempunyai Fraksi ABRI dimana anggota-anggotanya ditetapkan, bukannya terpilih melalui proses pemilihan umum.
Gubernur serta bupati harus berasal dari kalangan tentara atau telah mendapat persetujuan dari tentara.
Ketua partai politik lokal banyak merupakan mantan anggota militer.
Terkadang, hingga kekuasaan pemerintahan terdekat dengan masyarakat seperti lurah dan kepala desa pun masih dipegang oleh anggota militer.
Menurut Rachmat, pada era Orde Baru, militer memegang peranan penting di bidang politik serta birokrasi.
Ide ganda dari ABRI menjadikan tentara tidak hanya memiliki tanggung jawab di bidang pertahanan, namun mereka juga terlibat aktif dalam urusan pemerintahan serta sektor ekonomi.
Pada era Orde Baru, sistem pemerintahan diberlakukan dengan struktur yang ketat, di mana angkatan bersenjata menjadi fondasi pentingnya.
Akhirnya, dilaksanakanlah pemantauan yang ekstensif terhadap warga masyarakat beserta tindakan keras guna mempertahankan ketertiban dan otoritas.
Pengawasan yang ketat atas hak untuk menyampaikan pendapat pun dijalankan.
Pembatasan pers dilakukan melalui mekanisme Surat Izin Usaha Penerbitan Pers.
Akhirnya, media massa dapat ditutup jika menyalahkan pemerintah.
Lawan oposisi pun tertekan. Aktivis serta mahasiswa yang lantaran suara mereka akan ditahan.
Rachmat tidak akan mungkin melupakan bagaimana PDI, nenek moyang dari PDI Perjuangan hari ini, mengalami dampak langsung dari kebijakan otoritarian Orde Baru yang berkuasa.
Rachmat menyatakan bahwa dia langsung merasakan situasi sulit saat berpartisipasi dalam Rapat Kerja Nasional PDI di Condet, Jakarta Timur, dimana dirinya ditgejag oleh petugas keamanan.
Sebenarnya, Rakernas itu hanya merupakan acara tahunan biasa dari sebuah organisasi partai politik.
Pada pemilihan umum tahun 1987, PDI meraih pencapaian luar biasa dengan mendapatkan enam tempat dewan perwakilan rakyat daerah Lombok Timur.
Membuat PDI saat itu mestinya pantas mendapat posisi ketua. Tetapi, yang terjadi malah keadaan yang berlawanan.
Para militer yang masih mempunyai wakil di DPRD tidak mau mengalah. Begitu pula dengan Bupati Lombok Timur saat itu yang juga merupakan seorang militan merasa keberatan. Keduanya melakukan tindakan. Akhirnya, PDI menjadi korban dalam situasi tersebut.
Kursi kepemimpinan malah dimiliki oleh Partai Persatuan Pembangunan, yang jumlahnya di bawah PDI.
Rachmat menggarisbawahi bahwa PDI pasti tidak akan tinggal diam. Penentangan yang bisa dijalankan lewat saluran konstitusi telah mereka laksanakan.
Orang yang pada waktu itu memimpin partai di wilayah setempat menjadi tenaga pendorong dalam melancarkan perlawanan tersebut.
Terakhir, pada tahun 1996, Rachmat digulingkan oleh konspirasi para pemegang kekuatan oligarki dari jabatannya di parlemen.
Segalanya terjadi karena Rachmat memutuskan untuk mengambil posisi di samping Teguh dalam dukungan mereka kepada Ibu Megawati Soekarnoputeri sebagai Ketua Umum partai, dan tidak ke arah Soerjadi, sang Ketua Umum PDI saat itu yang dikenali sebagai figura yang dikendalikan oleh pemerintahan berkuasa.
Rachmat mementaskan bahwa membongkar lagi pengalaman menyakitkannya baik sebagai individu ataupun dalam kapasitas organisasi tidak dilakukan untuk merenungi luka masa lalu, apalagi untuk membangkitkan rasa benci terhadap sekelompok orang.
Tetapi, hanya untuk membimbing bangsa serta generasi mendatang.
Rachmat menegaskan bahwa gaya kepemimpinan militeristik seperti era Orde Baru sudah cukup menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia dan tidak akan berulang lagi di masa depan.
Oleh karena itu, para pemimpin politik dari generasi berbeda kini termotivasi untuk menyederhanakan keadaan ketika beberapa bagian masyarakat saat ini sedang melakukan unjuk rasa dan protes. Hal tersebut dikarenakan mereka menilai bahwa perubahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada tanggal 20 Maret kemarin, memulihkan lagi Dwi Fungsi ABRI.
Sebenarnya jauh dari itu. “Rancangan revisi UU TNI menegaskan bahwa masa orba yang cenderung militeris tidak akan muncul lagi. Tak ada ruang untuk dwifungsi ABRI. Proses reformasi masih berlanjut dan supremasi sipil tetap menjadi dasar penting dalam demokrasi kita,” ungkap Rachmat.
Dia menjelaskan bahwa saat Rancangan Undang-Undang Tentang TNI sedang dibahas dalam Panja, Utut Adianto, anggota Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan ketua Komisi I DPR RI serta pimpinan Panja, memberikan peluang pada setiap fraksi untuk berpendapat.
Tidak ada satu fraksi pun yang menginginkan dwifungsi ABRI dikembalikan. Diskusi dilakukan dengan hati-hati dan teliti.
Rachmat memiliki pengalaman langsung menjalani kehidupan saat masa pemerintahan Orde Baru yang bersifat militeristik, dan ia juga diminta pendapatnya secara langsung oleh Kepala Panja.
Semua pihak setuju bahwa penyusunan ulang Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia itu perlu dilakukan dengan hati-hati serta kearifan, semua hal ini dipertimbangkan berdasarkan kebutuhan bangsa dan negara.
Anggota Panja yang merupakan mantan perwira TNI pun diperiksa pendapatnya.
Satu di antaranya, sebut Rachmat, yaitu Mayor Jenderal TB Hasanuddin, politikus dari Partai PDI Perjuangan. Selama bertugas militer, ia sempat menjadi Sekretaris Militer Presiden.
Rachmat, yang selalu duduk berdampingan dengan TB Hasanuddin dalam tiap pertemuan Panja, memahami betul bahwa tidak terlintas sedikitpun pikiran anggota Panja lama yang pernah menjadi perwira untuk membawa kembali fungsi ganda ABRI.
Rachmat mengatakan bahwa revisi UU TNI ini dilaksanakan sekarang karena bertujuan untuk menyelesaikan tantangan yang telah sangat berbeda dibandingkan ketika UU TNI awalnya ditetapkan dua puluh tahun lalu.
Oleh karena itu, penyempurnaan Undang-Undang TNI tersebut hanya meliputi tiga aspek. Aspek pertama adalah tentang cara menguatkan koordinasi antara TNI dan rakyat.
Kedua, TNI mempunyai jaminan mengenai tanggung jawab pasukan dalam lingkup non-militer atau di luar kewajiban militernya.
Ketiga, mengenai penyesuaian umur pensiun di TNI, hal ini akan mendukung Prajurit serta keluarganya untuk lebih optimal dalam menggunakan sumber daya.
“Tidak perlu ada ketakutan tentang dwifungsi ABRI setelah penyempurnaan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia ini dilakukan. Militerisasi dalam bidang politik merupakan hal yang sudah terjadi selama masa lalu. Melalui revisi undang-undang tersebut, kita malah menggarisbawahi bahwa kendali negara masih tetap dipegang oleh pihak sipil dan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi,” kata Rachmat.
