Airlangga Minta BEI Tinjau Ulang Aturan Trading Halt Saat IHSG Jatuh 5%

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, meminta kepada Bursa Efek Indonesia (BEI) agar merevisi aturan tentang pemberhentian sementara perdagangan atau dikenal juga dengan istilah trading halt. Aturan tersebut menerapkan pemblokiran perdagangan secara otomatis jika terjadi penurunan indeks di atas 5% pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Airlangga mengungkapkan bahwa peraturan terkait penahanan perdagangan (trading halt) yang sedang diberlakukan sekarang disusun selama masa pandemi Covid-19 di tahun 2020. Keputusan itu dimaksudkan untuk mempertahankan stabilitas pasar saham saat situasi krisis parah.

Pemimpin Utama Partai Golkar untuk tahun 2017 hingga 2024 tersebut menyampaikan indikasi bahwa batasan trading halt 5% mungkin akan dirubah agar menjadi lebih sesuai dengan situasi pasar yang sekarang.

“Kita juga menyadari bahwa aturan terkait hal 5% tersebut diterapkan minggu lalu seiring dengan pandemi COVID-19, oleh karenanya peninjauan ulang atas kebijakan tersebut menjadi penting,” ungkap Airlangga dalam pertemuan di Istana Merdeka Jakarta pada hari Selasa (18/3).

  • Sri Mulyani Berikan Keterangan Tentang Kabar Resign Sebagai Menteri Keuangan
  • IHSG Berakhir dengan Penurunan 3,84%, Empat Alasan di Balik Tekanan pada Indeks Saham Menurut Para Analis
  • Daftar Saham Grup Besar Merosot Sementara Indeks Gabungan Saham Terpengaruhi, PANI dan TPIA Anjlok Dua Angka

BEI menerapkan penangguhan perdagangan sementara atau trading halt selama 30 menit pada hari Selasa (18/3) pukul 11:19:31 WIB karena indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot sebesar 5,02%.

Sesudah pasar buka, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali merosot 6,12% hingga mencapai angka 6.076 di akhir sesi perdagangan pertama hari ini. Bahkan, IHSG sempat turun sampai ke titik 6.011 walaupun durasinya singkat.

Airlangga menilai bahwa penurunan performa bursa saham lokal yang berujung pada penghentian perdagangan adalah sesuatu yang normal dan tak perlu dikhawatirkan. Menurutnya, kondisi tersebut hanyalah akibat langsung dari keadaan pasar saham di luar negeri yang merosot drastis selama beberapa minggu belakangan.

“Berdasarkan aspek Fundamental yang solid. Penurunan ini di beberapa negara dengan fluktuasi saham adalah hal normal. Ketika saham di negara-negara lain mengalami penurunan signifikan seminggu lalu, mungkin saja kita belum begitu terdampak sebelumnya dan hanya mulai merasakan pengaruhnya dalam dua-tiga hari belakangan,” jelas Airlangga.

Menteri Perindustrian dari tahun 2016 hingga 2019 menyoroti bahwa keadaan jatuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang mengakibtkan penghentian perdagangan dapat disebabkan oleh penurunan performa sejumlah grup perusahaan tertentu.

“Seperti biasanya, terdapat beberapa saham yang mengalami penurunan kemungkinan karena dampak dari peluncuran laporannya atau berita-beritanya. Ada sebuah grup di mana saham-sahamnya jatuh dengan cukup signifikan,” ungkap Airlangga.

Mengapa IHSG Turun 6%?

Tidak seperti pergerakan indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), pasar saham di wilayah Asia secara umum menunjukkan peningkatan. Indeks Hang Seng melonjak sebesar 1,80%, sementara itu Shanghai Composite meningkat tipis menjadi 0,05%. Pasar Jepang juga ikut bersemangat dengan pertambahan Nikkei sebanyak 1,45%, serta Straits Times meraih penghargaan tambahan hingga 1,22%. Pada skala lebih luas, DOW30 mencatatkan kenaikan 0,85%, disusul oleh SP500 yang bertambah 0,64%. Demikian pula, Indeks FTSE tampaknya turut bergairah dengan lonjakan sekitar 0,56%.

Profesor Keuangan dan Pasar Modal dari Universitas Indonesia, Budi Frensidy, menyatakan bahwa penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi internal. Menurutnya, sentimen negatif di kalangan pemain pasar muncul akibat serangkaian kebijakan ekonomi pemerintah yang sedemikian rupa dilaksanakan.

“Kepercayaan investor khususnya investor mancanegara semakin berkurang mengenai prospek perekonomian kita,” ungkap Budi ketika dihubungi pada hari Selasa (18/3).

Berdasarkan pernyataan Budi, penurunan kepercayaan para pemain pasar dapat terlihat melalui Survei Ahli Ekonomi yang dikeluarkan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia pada hari Senin tanggal 17 Maret kemarin. Di dalam survei tersebut, LPEM merangkum bahwa sebagian besar pakar—terdiri dari 23 orang dari total 42 pakar atau sekitar 55% responden—setuju bahwa situasi ekonomi saat ini sudah semakin menurun jika dibandingkan dengan tiga bulan sebelumnya.

Saat ini, Associate Director dari Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nicodemus, mengungkapkan bahwa penurunan IHSG secara signifikan dimulai karena ketegangan geopolitis global yang semakin memburuk. Ketakutan akan resesi AS ditambah dengan situasi perdagangan antar negara dan relasi US-Rusia yang kian tegang menjadi pemicunya.

Kecemasan akibat pengaruh global semakin memburuk seiring berkurangnya keyakinan pada perekonomian nasional. Penurunan penerimaan Indonesia sampai 30% merupakan salah satu tanda yang menyebabkan para investor merasa cemas.

Menurut Maximilianus, kemerosotan ekonomi membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bertambah lebar, sehingga diperlukan pengeluaran hutang yang lebih banyak. Tentunya hal ini mendorong pelemahan nilai tukar Rupiah menjadi semakin parah. Kondisi tersebut dapat membawa dampak bahwa tingkat suku bunga bank sentral pun bakal kesulitan untuk diturunkan.

“Setiap orang cemas karena beban keuangan di Indonesia semakin meningkat, sehingga berbagai pihak di pasaran dan para investor pun akhirnya memilih untuk bermigrasi ke jenis investasi lain,” jelas Maximilianus.

Dia menyatakan lebih lanjut bahwa saat ketidakstabilan ekonomi masih terus berlangsung, para investor cenderung mengarah pada jenis investasi yang lebih aman dengan tingkat pengembalian yang pasti. Dia melanjutkan, “Saham kemudian menjadi kurang menarik, dan mungkin saja orang beralih ke surat utang sebagai alternatif setelah saham.”