Revisi KUHAP: Apakah Larangan untuk Konferensi Pers Pengumuman Tersangka Sekarang Diimplementasikan?

Rancangan ubah undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana (KUHAP) saat ini mencakup ketentuan mengenai pengumuman status sebagai tersangka.Dalam rancangan perubahannya, poin tersebut tertulis diPasal 86.

Berikut adalah isi dari Pasal 86 bagian (1):


Pada saat memberikan status sebagai tersangka, penyidik tidak boleh melaksanakan tindakan yang dapat memicu anggapan kesalahan sejak awal dengan mendistribusikan informasi tentang penetapan tersangka ke masyarakat atau dengan mensugestikan bukti kuat terhadap tersangka tersebut. Penyidik juga diharamkan untuk menggunakan pakaian khusus atau lambang-lambang lainnya pada tersangka yang bisa menyiratkan bahwa mereka sudah dikonfirmasikan bersalah.

Akan tetapi, pengecualian tersebut berlaku bagi tindakan kriminal yang terkait dengan keamanan nasional. Ini seperti yang disebutkan dalam Pasal 86 ayat (2) dari rancangan perubahan KUHAP.

Sahroni: Tidak Dapat Mengungkapkan Yang Masih Dianggap Salah Sebelum Pembuktian

Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni menggarisbawahi pentingnya regulasi tentang pemberitahuan status tersangka guna mencegah tindakan pembunuhan karakter. Politikus dari partai NasDem tersebut menjelaskan bahwa sistem perundangan di negara kita berpedoman pada prinsip praduga tidak bersalah.

“Kebijakan hukum kami mengacu pada asumsi kebersihan tangan, yang berarti individu seharusnya tidak dianggap bersalah hingga adanya vonis dari pengadilan. Pasal ini ditujukan untuk melindungi prinsip itu,” jelas Sahroni saat memberikan keterangan kepada para jurnalis, Jumat (28/3).

Dia juga menegaskan bahwa penyelenggaraan konferensi pers untuk mengumumkan tersangka tetap diizinkan meskipun ada peraturan baru dalam KUHAP tersebut.

Jelasnya, meskipun konferensi pers tidak dibatasi, peraturan tersebut kelak akan diimplementasikan guna menghindari upaya seseorang merusak reputasi dengan cara menjelek-jelekkannya.

Menurutnya, sekarang sering kali diumumkan seseorang sebagai tersangka tanpa adanya bukti yang cukup kuat. Karena itu pula, menurutnya, kelak akan dikenakanperlakuan berbeda antara mereka yang masih dalam posisi praduga tidak bersalah dan mereka yang telah terbukti bersalah.

“Sekarang ini ada banyak hukuman sosial yang sangat merusak bagi orang-orang yang mungkin tak berdosa,” kata Sahroni.

“Makanya, nanti akan berbeda
treatment
-yang masih dalam dugaan tidak bersalah dan mereka yang telah terbukti bersalah,” tambahnya.

KPK: Unik Jika Rapat Pers Penyataan Tersangka Dihindari

Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menggariskan bahwa konsep dari asas tidak bersalah bermakna seseorang diperlakukan sebagai orang yang tidak bersalah hingga pengadilan secara resmi mendeklarasikan mereka bersalah. Akan tetapi, dalam praktiknya, pekerjaan pihak penyidik didasari oleh asas praduga bersalah. Walau bagaimana pun, ia tegaskan bahwa asas praduga bersalah tersebut tak sama artinya dengan penilaian langsung terhadap kebersalahannya sebelum proses peradilan lengkap.

“Dalam menjalankan tanggung jawabnya, penyidik mengacu pada prinsip praduga bersalah. Namun, hal ini bukan berarti individu tersebut sudah terbukti bersalah, sebab istilah ‘praduga’ sendiri bermakna belum tentu benar. Untuk alasan ini, penyidik dilengkapi dengan wewenang untuk menerapkan langkah-langkah paksa seperti penahanan, pembatasan kebebasan pergerakan, larangan meninggalkan negara, dan seterusnya sesuai yang ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta peraturan-peraturan hukum lainnya,” jelas Tanak.

Menurut dia, penyidik saat menjalankan tanggung jawab mereka untuk mengidentifikasi seseorang sebagai tersangka, hal itu terjadi sebelum ada keputusan dari pengadilan.

Lebih jauh dia menjelaskan bahwa proses perkaranya juga ditangani oleh JPU dan hakim yang memeriksa seorang terdakwa sampai dinyatakan bersalah serta memiliki kekuatan hukum yang final.

“Oleh karena itu, tindakan investigatif oleh penyidik, jaksa penuntut umum, serta hakim dalam menghadirkan terdakwa pada persidangan kasus kriminal mulai dari panggilan awal sampai pembatasan perjalanan ke luar negeri atau bahkan penahanan, semuanya tentunya menyalahi hak-hak azasi manusia,” kata Tanak.

“Sebab hal itu dilaksanakan sebelum pengadilan mengeluarkan keputusan yang menyatakan terdakwa bersalah,” lanjutnya.

Akibatnya, Tanak merasa heran apabila konferensi pers untuk mengumumkan tersangka dibatasi seperti yang terdapat pada rancangan perubahan UUDHP.

“Situasi menjadi ganjil, mempertahankan tersangka pun diperbolehkan, namun menggelar konferensi pers justru ditolak, sungguh aneh bukan? Terlebih jika dasarnya hanyalah berdasarkan prinsip praduga tidak bersalah,” ucapnya.

“Bila pendekatan pikirannya didasarkan pada prinsip praduga tak bersalah, maka tidak seorang pun dapat dijadikan subjek dalam kasus kriminal, mengingat bahwa selama proses penanganan perkara kriminal tersebut, seseorang boleh saja dipanggil dan ditahan walaupun belum adanya vonis hakim yang menyatakan dia bersalah,” jelasnya.

Selanjutnya, Tanak juga menyatakan bahwa pemberian status tersangka kepada seseorang dikarenakan dituduh telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan undang-undang.

“Orang yang dijadikan tersangka pasti disebabkan dituduh telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum dan kemudian akan dilakukan proses sesuai aturan dalam undang-undang prosedur pidana,” jelas Tanak.

“Pada tahap itu, jelas belum ada keputusan pengadilan yang mengklaim terdakwa bersalah. Prinsip praduga tak bersalah harus diinterpretasikan secara tepat supaya tujuan pelaksanaan hukum dapat dicapai,” tegasnya.